Advertisement

Sabtu, 11 Februari 2012

Mengurai Bahaya Laten Kekerasan


Oleh : Iin Solihin

 “Violence Beget  Violence” .Kekerasan menimbulkan kekerasan lainnya. Ungkapan seorang pejuang perdamaian asal Brazil Dom Helder Camara (1909), tampaknya memiliki relevansinya untuk digunakan sebagai pisau analisis “menelanjangi” aksi kekerasan di Indonesia dewasa ini. Aksi kekerasan atas nama apapun, suku, ras,etnik, tindakan main hakim sendiri yang melawan hukum dan ketertiban umum merupakan perbuatan kriminal yang tidak dibenarkan. 
Kekerasan merupakan anak kandung yang dilahirkan dari ketidakadilan sosial, ekonomi, politik dan budaya telah menjadi realitas multidimensi, dimana satu masalah dengan lainnya memiliki keterkaitan yang kemudian bermetamorfosis menjadi kerusuhan, pemerkosaan, pembakaran, pembunuhan dan bentuk kejahatan lainnya korupsi, kolusi, nepotisme (KKN) telah meruntuhkan bangunan kehidupan kenegaraan dan kemanusiaan. 
Menurut William Chang dan Dom Helder Camara, runtuhnya peradaban sosial manusia akibat runtuhnya bangunan sosial (KKN), kekacauan vertikal dan horizontal dimana cara-cara kebinatangan seperti rakus, jahat, memangsa, hipokrit dan membunuh dipakai untuk mempertahankan hidup. Hal tersebut berakibat terjadinya “sub human”, dimana kondisi hidup manusia mengalami goncangan dan ketakutan tidak terpenuhinya kebutuhan hidup, merasa tidak aman, tidak ada yang bisa dipercaya, saling mencurigai antar sesama, teralienasi, dehumaninasi martabat yang dibayang-bayangi oleh penderitaan  hingga kematian.
Membongkar Akar Kekerasan
Dom Helder Camara dalam Spiral Kekerasan (2000) mengungkapkan bahwa konsekuensi logis dari kekerasan yang dilahirkan dari bentuk ketidakadilan akan terus melahirkan varian-varian permasalahan yang kompleks sebagaimana dapat diidentifikasi menjadi tiga varian secara personal, institusional dan struktural yang ketiganya memiliki keterkaitan satu dengan lainnya.
Pertama,kekerasan secara personal hadir ketika terjadi ketidakadilan menimpa individu-individu maupun kelompok yang dimanifestasikan melalui bentuk perlawanan, pemberontakan, sebagaimana yang terjadi  dibumi Cendrawasih, dimana rakyat Papua memperjuangkan hak-haknya terhadap ketidakadilan negara dalam membangun kesejahteraan sosial. Dan perjuangan rakyat korban lumpur Lapindo-Sidoarjo, pengusutan beberapa kasus pelanggaran HAM berat yang kerap kali berakhir antiklimaks.
   
Kedua,kekerasan secara institusional adalah istilah lain dari perjuangan, gerakan yang terorganisir seperti Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), Partai Politik, Ormas, dan gerakan-gerakan massa dalam memperjuangkan segala kepentingan pribadi maupun kelompok. Gerakan Reformasi 1998, demonstrasi Para Buruh Indonesia (27/01/12) yang memperjuangkan Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK) dan organisasi petani, nelayan dan aparat desa yang menuntut hak tanah (Agraria) sebagai hak pribadi dan publik (UU Nomor 5 Tahun 1960).
Ketiga,kekerasan secara struktural merupakan bentuk “kekerasan yang dibenarkan” yang dilakukan oleh lembaga negara (Polri dan TNI) dalam menjaga keamanan dan keutuhan negara dari ancaman pihak-pihak luar (eksternal) maupun dari dalam (internal) negara.
Namun, pada kenyataanya peran dan fungsi negara belum mampu menjaga ketertiban sosial dan memberikan jaminan rasa aman bagi warga negara. Idealnya, negara meminjam istilah Filosof Yunani Plato dalam Republik sebagai “penjaga malam” yang kehadirannya memberikan rasa aman dari ancaman binatang buas dan menjadi obor yang menerangi gelapnya malam. Bukan sebaliknya, negara justeru menjadi “pemangsa” “perampok” harta sang majikan (warga negara) sebagaimana yang dipertontonkan secara vulgar pemangku kuasa di Indonesia.
Hasil survey menunjukan, tingginya pesimisme publik (82 persen) dalam menilai terhadap buramnya potret berbagai lembaga negara dalam menjamin ketertiban sosial. (74,1 persen Aparat Kepolisian). (55,7 persen TNI). (65, 1 persen. Pemerintah Daerah). (70, 7 persen. Pemerintah Pusat). Tahun 2009, tercatat kurang lebih 195 kali peristiwa konflik diberbagai daerah yang menewaskan 48 orang dan kerugian lainnya akibat terjadinya bentrokan fisik sesama warga negara dan aparat keamanan, sedangkan diawal tahun 2012 terjadi peristiwa konflik antara lain kerusuhan Mesuji, pembakaran Kantor Bupati Bima Nusa Tenggara Timur dan 48 rumah warga di Desa Sidomulyo-Lampung. (Kompas, 30/01/12)   
Sebagaimana dijelaskan diatas, permasalahan yang mendera bangsa adalah ketidakadilan yang “diciptakan” oleh “negara” untuk itu dibutuhkan langkah preventif  dan antisipatif guna meredam guncangan yang lebih besar dengan melibatkan semua elemen masyarakat, pemerintah daerah dan pusat untuk duduk bersama menjalankan peranan dan fungsinya masing-masing guna memperkuat kontrol sosial melalui pendekatan budaya, agama dan kearifan lokal demi kuatnya bangunan kemanusiaan dan kenegaraan dimasa mendatang yang lebih aman dan damai.
Untuk itu, menciptakan kesejahteraan negara Indonesia dimasa depan yang lebih baik tidak ada alternatif lain, kecuali negara lebih responsif terhadap permasalahan yang dihadapi masyarakat yang kompleks. Sebagaimana filsafat Jawa mengatakan, ing ngarsa sung tuladha, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani (di depan memberi teladan, di tengah memberi dorongan, di belakang memberi kekuatan). Dengan demikian, cita-cita bangsa akan terpenuhi bila para pemangku kuasa atau elit negara mampu menyelesaikan persoalan bangsanya, baik dalam bidang ekonomi, sosial, politik, hukum, maupun budaya. Semoga!
Penulis adalah peneliti pada Lembaga Studi Islam dan Kebudayaan (LSIK)-Jakarta dan Pengurus Forum Diskusi Rumah Anak Bangsa (RAB) Pare-Jawa Timur.

 
Google PageRank Checker Powered by  MyPagerank.Net