Advertisement

Minggu, 30 Agustus 2009

Pendidikan Media

"Kekerasan kembali terjadi dalam dunia pendidikan.
Kali ini terjadi di SMP N 7 Pasundan, Bandung. Pelaku kekerasan adalah seorang guru agama yang bernama Rosmidah dan kekerasan terjadi di depan siswa-siswa yang tengah belajar di dalam kelas.."



Kira-kira seperti itu prolog dari seorang reporter sebuah stasiun televisi swasta tentang berita menarik yang layak disajikan beberapa waktu lalu. Kita tentu tersentak dengan prolog tersebut. Keprihatinan kita terhadap kondisi dunia pendidikan dengan segera menggumpal kembali. Kata-kata reporter tersebut tentu bagai sihir yang serta merta membuka energi pikiran negatif tentang berita yang hendak disajikan dan biasanya secara spontan membentuk sikap antipatif para pemirsa terhadap pelaku kekerasan yang bahkan belum diutarakan. Sehingga tentu saja pemirsa tak sabar menunggu cerita kekerasan yang hendak disampaikan sang reporter.

Berita tersebut berlanjut dengan sebuah informasi bahwa Guru Rosmidah tersebut menggunakan korek api untuk menunjukkan kepada siswanya bahwa api di neraka jauh lebih panas daripada api di dunia. Uniknya, untuk meyakinkan siswa-siswanya tersebut bu guru ini menggunakan api beneran yang beliau sulutkan dari korek api. Celakanya, salah seorang siswa yang menjadi sukarelawan demonstrasi ini mengalami luka bakar di bagian pipinya. Dan hal ini yang dianggap sebagai sebuah bentuk kekerasan dalam dunia pendidikan oleh sang reporter.

Sebagai seorang pendidik, tentu saja penulis sempat terkejut dengan berita yang disajikan tersebut, namun begitu gambar siswa dengan luka bakar yang dialaminya tersebut ditampilkan, rasa terkejut itu sirna dan justru menimbulkan rasa prihatin yang dalam terhadap pilihan kata dan pewacanaan berita yang prolognya cukup heboh tersebut. Luka tersebut adalah luka yang tidak bisa dikatakan mewakili bentuk kekerasan dalam dunia pendidikan karena masih dalam taraf yang sangat wajar, meski harus diakui bahwa itu adalah suatu luka karena panasnya api.

Bila cara pandang kita terhadap masalah ini seperti cara pandang sang reporter, tentu saja kita akan mengutuk tindakan si guru. Namun bila kita memandang hal tersebut sebagai bentuk kreatifitas guru dalam mengajar, maka tentu hal tersebut menjadi terasa sangat berbeda. mungkin kita akan berteriak geram, "Tapi kan akibatnya ada, pipi siswanya terbakar!"

Iya benar, memang ada kondisi yang seperti itu, namun hal itu adalah suatu resiko bukan tindak kekerasan dalam dunia pendidikan karena tujuan Bu Guru Rosmida ini jelas dan tampaknya cukup terukur karena dilakukan kepada beberapa orang. Sayangnya, ada salah satu diantara beberapa sampel tersebut yang gagal dan siswa tersebut mengalami luka karena hal tersebut. Bu Guru ini sebenarnya tengah mengajar dengan metode pendekatan praktek bukan sekedar teori, mendekatkam siswa dengan ranah kenyataan sehingga imajinasi ataupun kesadaran siswa sebagai tujuan utama subjek pelajaran bisa tercapai. Memang ada kegagalan, namun bukankah segala hal memiliki resiko, yang lagi-lagi sayangnya, pendidikan resiko belum menjadi pola pendidikan yang membumi dalam sistem pendidikan di negeri tercinta ini.

Hal ini tentu harus dipertimbangkan sebagai sebuah wacana lain kepada pemirsa bukan hanya satu sudut pandang yaitu kekerasan dalam dunia pendidikan. Menurut seorang raja media dunia, Pitt Murdoch, media itu tidak sama dengan industri dan hal itu tentu membawa suatu tanggung jawab yang besar. Salah satu tanggung jawab itu adalah pencerahan dan pendidikan kesemestaan. Sayangnya banyak media massa di Indonesia yang masih juga belum memahami bentuk tanggung jawab ini, sehingga penggiringan asumsi publik tidak dilakukan sebagai wacana kependidikan tapi cenderung sebagai daya pikat media semata. Media berlomba-lomba menyajikan berita dan acara yang memikat tapi fungsi edukasi yang seharusnya menjadi ruh utama media malah cenderung dilupakan. Bukankah pemberitaan yang berimbang yang jauh dari justifikasi adalah nilai dasar suatu media.




kata hati seorang rakyat yang berharap
semua komponen bangsa menyadari tanggung jawab
tuk ikut mencerdaskan kehidupan bangsa

Uun Nurcahyanti

Rabu, 29 Juli 2009

Waktu

DALAM MISTERI LINGKARAN WAKTU
KITA BERTUMBUH
DALAM LINGKARAN YANG SAMA
KITA AKHIRKAN SEGALA ASA


Dua hari yang lalu seorang sahabat kami berpulang ke rahmatullah. Hati terasa begitu teraduk-aduk, seluruh persendian terasa luluh lantak. Bukan hanya jejak kepedihan yang terasa pahit tertinggal tapi lebih pada keterpanaan atas segala misteri illahi yang dituangkan tuntas dalam ruang realita kami.

Pagi saat matahari tersenyum menyapa bumi, kami masih berbagi waktu bersama, mengikuti program asrama dalam lingkaran damai seperti biasanya. Saat matahari mulai meninggi, kami masih berjibaku bersama untuk menuntut ilmu dan mengikat makna-makna kehidupan lewat program-program yang kami tekuni masing-masing. selepas dhuhur kami masih menikmati makan siang bersama dengan iringan senda gurau dan berlauk keakraban..

Setengah jam setelahnya, betapa kami terlonjak dalam saat berita itu tiba..bahwa dirimu telah pergi, sahabat. Pergi tanpa pesan dan tak kan pernah kembali lagi..

Ah,,jam sepuluh tadi pagi kau masih bersemangat mengikuti pelajaran,menekuni materi-materi yang ditawarkan tutor kecil kita,Mr. Amy,tapi kini kau hanya terpejam diam...

Kelaam hatiku,kawan.
Kelam tak tertawarkan.

Selamat jalan, sahabat, segala kebaikan yang kau ajarkan kan menjadi ayat-ayat kehidupan yang senantiasa mengalir dalam ruang kenangan kami..

selamat jalan, sahabat kami
: Zaenal Arifin



Pare,30 Juli 2009

Uun Nurcahyanti

Minggu, 17 Mei 2009

Hakekat Mimpi

Mimpi adalah kunci untuk kita menaklukan dunia
(NIDJI,2008)


Kalimat pembuka dari lagu tema film Laskar Pelangi tersebut saat ini telah menjadi slogan yang sangat populer dan seperti layaknya hal-hal populer lainnya,kalimat sakti ini bisa jadi akan berubah menjadi basi dan tak lagi berkekuatan menggugah nurani. Kondisi ini akan sangat mungkin terjadi bila kita sendiri tidak memahami apa hakekat dari mimpi itu sebenarnya.

Biasanya kita enggan berbicara tentang mimpi karena konotasi makna dari kata ini dalam bahasa Indonesia seringkali cenderung negatif dan bersifat untung-untungan. Sehingga kita lebih akrab dengan antipati dari pada menerima. Coba kita melihat arti kata ini dari sisi yang berbeda; mimpi bisa diartikan sebagai sebuah posisi pikir dimana kita meletakkan wilayah arah tujuan hidup kita. Naa,,karena mimpi adalah posisi pikir maka dia memiliki kekuatan untuk menggerakkan seluruh energi yang kita miliki untuk mewujudkan hal abstrak tersebut menjadi hal yang konkret,nyata, visual dan bisa dinikmati oleh pemilik mimpi tersebut.Mimpi ibarat tujuan dimana kita nanti akhirnya berarah.

Ibarat orang yang tengah melakukan perjalanan maka hal utama yang mesti dia miliki adalah tempat yang hendak ditujunya!Tanpa menetapkan tujuan perjalanan maka kita hanya akan berputar-putar tak tentu arah. Mungkin tempat yang kita tuju itu tidak kita pahami secara mendalam.Tak apa,,itu lebih baik daripada kita sama sekali tidak tahu kita mau kemana!!!
Trus... kalau ita tersesat?!Orang yang paham dimana tempat itu akan menunjukkan arah yang harus kita ambil. Bisa jadi kita tersesat jauh,tapi kita akan selalu memuju ke arah yang kita maksudkan. Mungkin perjalanan kita memutar karena kita tak memiliki pengetahuan yang mumpuni tetang wilayah yang kita jelajahi. Bisa jadi kita bahkan melewati jalan yang sama untuk beberapa kali, tapi hal itu hanya akan membuat kita semakin tahu wilayah jelajah yang tengah kita lalui dan yang pasti kita jadi menyadari kesalahan kita.

Hal ini akan sangat berbeda bila kita tidak tahu tujuan perjalanan yang tengah kita lakukan atau yang hendak kita lakukan. Saat kita memasuki wilayah yang asing, kita bahkan tidak tahu kita sedang tersesat atau sudah sampai pada akhir perjalanan!! Saat ada orang bertanya kita mau kemana untuk berbagi ilmu tentang arah, kita juga tidak bisa menjawab karena kita juga tak tahu kita hendak kemana. Tuh kan,,kita membuat orang lain bingung dan kita sendiri juga akhirnya semakin bingung.

Seperti itulah perjalanan hidup kita bila kita tak punya mimpi. Kita seperti orang yang sedang melakukan perjalanan tapi tak tau mau kemana itu tadi..So, pertanyaan mendasarnya adalah nasihkah kita ragu-ragu untuk bermimpi??Masihkah kita didera ketakutan tentang tkemungkinan erwujudnya mimpi-mimpi kita kita itu nantinya??

Sahabat, bukankah mimpi itu indah? Bukankah mimpi itu suatu posisi pikir yang sebenarnya secara alamiah akan membuat kita bergerak dan bergerak. Dan,,bukankah mimpi itu suatu keniscayaan yang mudah dan TIDAK DIPUNGUT BIAYA!!(sahabat, ke kamar kecil saja ada tarifnya kan..). Adakah alasan lain untuk takut bermimpi kecuali sebenarnya kita tak mau bergerak, tak ingin mengeluarkan energi demi mewujudkannya...padahal itu mimpi kita sendiri!!
Lantas,sahabat, bagaimana dengan mimpi Kartini, mimpi Bung Hatta, dan mimpi-mimpi besar bangsa ini,,adakah kita sempat punya ruang waktu untuk mewujudkannya, atau waktu malah tak memiliki cukup ruang bagi kita untuk menjadi bagian dari gerakan untuk mewujudkan mimpi itu..?!
Mari, sahabat, kita masukkan
MIMPI sebagai bagian dari mimpi kita untuk Indonesia!!


BERMIMPILAH
DAN BIARKAN TUHAN MEMELUK MIMPI-MIMPIMU





(ARAI)


Uun Nurcahyanti

 
Google PageRank Checker Powered by  MyPagerank.Net