"Kekerasan kembali terjadi dalam dunia pendidikan.
Kali ini terjadi di SMP N 7 Pasundan, Bandung. Pelaku kekerasan adalah seorang guru agama yang bernama Rosmidah dan kekerasan terjadi di depan siswa-siswa yang tengah belajar di dalam kelas.."
Kali ini terjadi di SMP N 7 Pasundan, Bandung. Pelaku kekerasan adalah seorang guru agama yang bernama Rosmidah dan kekerasan terjadi di depan siswa-siswa yang tengah belajar di dalam kelas.."
Kira-kira seperti itu prolog dari seorang reporter sebuah stasiun televisi swasta tentang berita menarik yang layak disajikan beberapa waktu lalu. Kita tentu tersentak dengan prolog tersebut. Keprihatinan kita terhadap kondisi dunia pendidikan dengan segera menggumpal kembali. Kata-kata reporter tersebut tentu bagai sihir yang serta merta membuka energi pikiran negatif tentang berita yang hendak disajikan dan biasanya secara spontan membentuk sikap antipatif para pemirsa terhadap pelaku kekerasan yang bahkan belum diutarakan. Sehingga tentu saja pemirsa tak sabar menunggu cerita kekerasan yang hendak disampaikan sang reporter.
Berita tersebut berlanjut dengan sebuah informasi bahwa Guru Rosmidah tersebut menggunakan korek api untuk menunjukkan kepada siswanya bahwa api di neraka jauh lebih panas daripada api di dunia. Uniknya, untuk meyakinkan siswa-siswanya tersebut bu guru ini menggunakan api beneran yang beliau sulutkan dari korek api. Celakanya, salah seorang siswa yang menjadi sukarelawan demonstrasi ini mengalami luka bakar di bagian pipinya. Dan hal ini yang dianggap sebagai sebuah bentuk kekerasan dalam dunia pendidikan oleh sang reporter.
Sebagai seorang pendidik, tentu saja penulis sempat terkejut dengan berita yang disajikan tersebut, namun begitu gambar siswa dengan luka bakar yang dialaminya tersebut ditampilkan, rasa terkejut itu sirna dan justru menimbulkan rasa prihatin yang dalam terhadap pilihan kata dan pewacanaan berita yang prolognya cukup heboh tersebut. Luka tersebut adalah luka yang tidak bisa dikatakan mewakili bentuk kekerasan dalam dunia pendidikan karena masih dalam taraf yang sangat wajar, meski harus diakui bahwa itu adalah suatu luka karena panasnya api.
Bila cara pandang kita terhadap masalah ini seperti cara pandang sang reporter, tentu saja kita akan mengutuk tindakan si guru. Namun bila kita memandang hal tersebut sebagai bentuk kreatifitas guru dalam mengajar, maka tentu hal tersebut menjadi terasa sangat berbeda. mungkin kita akan berteriak geram, "Tapi kan akibatnya ada, pipi siswanya terbakar!"
Iya benar, memang ada kondisi yang seperti itu, namun hal itu adalah suatu resiko bukan tindak kekerasan dalam dunia pendidikan karena tujuan Bu Guru Rosmida ini jelas dan tampaknya cukup terukur karena dilakukan kepada beberapa orang. Sayangnya, ada salah satu diantara beberapa sampel tersebut yang gagal dan siswa tersebut mengalami luka karena hal tersebut. Bu Guru ini sebenarnya tengah mengajar dengan metode pendekatan praktek bukan sekedar teori, mendekatkam siswa dengan ranah kenyataan sehingga imajinasi ataupun kesadaran siswa sebagai tujuan utama subjek pelajaran bisa tercapai. Memang ada kegagalan, namun bukankah segala hal memiliki resiko, yang lagi-lagi sayangnya, pendidikan resiko belum menjadi pola pendidikan yang membumi dalam sistem pendidikan di negeri tercinta ini.
Hal ini tentu harus dipertimbangkan sebagai sebuah wacana lain kepada pemirsa bukan hanya satu sudut pandang yaitu kekerasan dalam dunia pendidikan. Menurut seorang raja media dunia, Pitt Murdoch, media itu tidak sama dengan industri dan hal itu tentu membawa suatu tanggung jawab yang besar. Salah satu tanggung jawab itu adalah pencerahan dan pendidikan kesemestaan. Sayangnya banyak media massa di Indonesia yang masih juga belum memahami bentuk tanggung jawab ini, sehingga penggiringan asumsi publik tidak dilakukan sebagai wacana kependidikan tapi cenderung sebagai daya pikat media semata. Media berlomba-lomba menyajikan berita dan acara yang memikat tapi fungsi edukasi yang seharusnya menjadi ruh utama media malah cenderung dilupakan. Bukankah pemberitaan yang berimbang yang jauh dari justifikasi adalah nilai dasar suatu media.
Berita tersebut berlanjut dengan sebuah informasi bahwa Guru Rosmidah tersebut menggunakan korek api untuk menunjukkan kepada siswanya bahwa api di neraka jauh lebih panas daripada api di dunia. Uniknya, untuk meyakinkan siswa-siswanya tersebut bu guru ini menggunakan api beneran yang beliau sulutkan dari korek api. Celakanya, salah seorang siswa yang menjadi sukarelawan demonstrasi ini mengalami luka bakar di bagian pipinya. Dan hal ini yang dianggap sebagai sebuah bentuk kekerasan dalam dunia pendidikan oleh sang reporter.
Sebagai seorang pendidik, tentu saja penulis sempat terkejut dengan berita yang disajikan tersebut, namun begitu gambar siswa dengan luka bakar yang dialaminya tersebut ditampilkan, rasa terkejut itu sirna dan justru menimbulkan rasa prihatin yang dalam terhadap pilihan kata dan pewacanaan berita yang prolognya cukup heboh tersebut. Luka tersebut adalah luka yang tidak bisa dikatakan mewakili bentuk kekerasan dalam dunia pendidikan karena masih dalam taraf yang sangat wajar, meski harus diakui bahwa itu adalah suatu luka karena panasnya api.
Bila cara pandang kita terhadap masalah ini seperti cara pandang sang reporter, tentu saja kita akan mengutuk tindakan si guru. Namun bila kita memandang hal tersebut sebagai bentuk kreatifitas guru dalam mengajar, maka tentu hal tersebut menjadi terasa sangat berbeda. mungkin kita akan berteriak geram, "Tapi kan akibatnya ada, pipi siswanya terbakar!"
Iya benar, memang ada kondisi yang seperti itu, namun hal itu adalah suatu resiko bukan tindak kekerasan dalam dunia pendidikan karena tujuan Bu Guru Rosmida ini jelas dan tampaknya cukup terukur karena dilakukan kepada beberapa orang. Sayangnya, ada salah satu diantara beberapa sampel tersebut yang gagal dan siswa tersebut mengalami luka karena hal tersebut. Bu Guru ini sebenarnya tengah mengajar dengan metode pendekatan praktek bukan sekedar teori, mendekatkam siswa dengan ranah kenyataan sehingga imajinasi ataupun kesadaran siswa sebagai tujuan utama subjek pelajaran bisa tercapai. Memang ada kegagalan, namun bukankah segala hal memiliki resiko, yang lagi-lagi sayangnya, pendidikan resiko belum menjadi pola pendidikan yang membumi dalam sistem pendidikan di negeri tercinta ini.
Hal ini tentu harus dipertimbangkan sebagai sebuah wacana lain kepada pemirsa bukan hanya satu sudut pandang yaitu kekerasan dalam dunia pendidikan. Menurut seorang raja media dunia, Pitt Murdoch, media itu tidak sama dengan industri dan hal itu tentu membawa suatu tanggung jawab yang besar. Salah satu tanggung jawab itu adalah pencerahan dan pendidikan kesemestaan. Sayangnya banyak media massa di Indonesia yang masih juga belum memahami bentuk tanggung jawab ini, sehingga penggiringan asumsi publik tidak dilakukan sebagai wacana kependidikan tapi cenderung sebagai daya pikat media semata. Media berlomba-lomba menyajikan berita dan acara yang memikat tapi fungsi edukasi yang seharusnya menjadi ruh utama media malah cenderung dilupakan. Bukankah pemberitaan yang berimbang yang jauh dari justifikasi adalah nilai dasar suatu media.
kata hati seorang rakyat yang berharap
semua komponen bangsa menyadari tanggung jawab
tuk ikut mencerdaskan kehidupan bangsa
Uun Nurcahyanti
semua komponen bangsa menyadari tanggung jawab
tuk ikut mencerdaskan kehidupan bangsa
Uun Nurcahyanti