“Bumi memiliki kekayaan yang cukup untuk memenuhi kebutuhan umat manusia. Namun, bumi tidak dapat mencukupi kebutuhan segelintir orang-orang yang tamak”
(Mahatma Gandhi)
Tampaknya, apa yang di ungkapkan Mahatma Gandhi diatas mendapat relevansinya untuk menggambarkan realitas sosial, politik dan budaya di Indonesia. Diusianya yang ke-66 tahun, prospek bangsa Indonesia dewasa ini, menunjukan pesimisme sebagian masyarakat yang terus menerus dipaksa untuk “menelan pil pahit” yang disodorkan dan perankan oleh para pemangku kuasa (pemerintah) dengan bejadnya prilaku moral mereka yang melakukan korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN).
Syahdan, kemerdekaan yang dicita-citakan oleh para founding father yang melahirkan UUD 1945 dan era reformasi 1998 dengan cucuran air mata dan darah warga negara sebagai modal untuk kemerdekaan bangsa terbebas dari penjajahan, kemiskinan dan kebodohan, demi terciptanya kesejahteraan warga negara yang dapat mencukupi kebutuhan disegala lini.
Namun, realitas yang ada menunjukan, “kemerdekaan” yang setiap tahun diperingati hanya menghasilkan formalisme dan kemunafikan yang memprihatinkan secara realitas. Dimana banyaknya permasalahan yang menjerat para pemangku kekuasaan atau jenggo-jenggo kampung (pejabat) yang terus menerus “menelanjangi” dan “memperkosa” amanah rakyat dibawah pangkuan ibu pertiwi.
Pemimpin Sebagai Cermin
Seorang pemimpin mencerminkan yang dipimpin, baik buruknya prilaku pemimpin secara otomatis menggambarkan (maaf) buruknya yang dipimpin. Bagaimanapun, merekalah (rakyat) yang telah memberikan legitimasi untuk dipimpin.
Menjelang akan dilakukannya Pemilihan Umum (Pemilu) pada tahun 2014 mendatang dan akan dilangsungkannya Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) seperti di Provinsi Banten pada bulan Oktober tahun 2011. Tampaknya, rakyat harus kembali merasakan cumbuan dan rayuan para kandidat yang akan berlaga baik untuk Pemilu di tahun 2014 dan 2011 di Provinsi Banten.
Tentunya, para kandidat dalam setiap menghadapi Pemilu dan Pilkada telah mempersiapkan strategi untuk menjajakan “jualan-jualan politiknya” dalam meraih simpati publik sebagai proses pemenangan dengan melakukan pendistrosian dan manipulasi kepercayaan publik untuk sebuah pencitraan dan kemenangan, kepentingan serta memperkaya pribadi maupun kelompok diatas penderitaan kemiskinan dan kebodohan rakyat.
Maka, tak salah kiranya ungkapan Sastrawan Francis Honore De Balzac bahwa, setiap kekayaan yang besar merupakan kriminal. Kriminal yang didasari oleh watak kerakusan telah mendorong para pemimpin atau penguasa mencari kekayaan dengan cara yang tidak wajar atau kriminal. Hal tersebut ibarat “kanker” yang terus menerus menggerogoti tubuh (negara) untuk mempertahankan dirinya.
Pesimisme dan Harapan
Bila kita cermati, banyaknya kasus korupsi yang melibatkan para anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Menteri, Gubernur, Bupati hingga tingkat kepala desa, telah mempertontonkan “ketelanjangan” secara vulgar imoralitas dan rendahnya kinerja serta ketidakpedulian mereka dalam mengemban amanah rakyat yang telah mengantarkannya ditapuk kekuasaan untuk memperjuangkan dan mengelola kekayaan bangsa dalam meningkatkan pembangunan kenegaraan dan kebangsaan.
Namun, kesejahteraan yang dicita-citakan jauh panggang dari api, dimana “kesejahteraan” hanya berpihak pada orang-orang yang memiliki kehormatan dan kekuasaan. Sedangkan, kebodohan dan kedunguan seolah-olah pantas bagi mereka atau masyarakat yang tersingkirkan dari keberpihakan “nasib baik” dan “angin surga”.
Kemudian, kemiskinan rakyat hanya mampu membangun impian dan khayalan yang tak kunjung menjadi kenyataan. Sehingga, pada Pemilu dan Pilkada (2014 dan 2011), para penguasa akan menjadikan momentum untuk memobilisasi massa sebagai tiket untuk meraih dan mempertahankan kekuatan dan kekuasaannya dimuka bumi menjadi sebagai jelmaan “tangan-tangan Tuhan” yang berhak menentukan kebahagian rakyat untuk digiring kepada kehidupan “neraka atau surga”.
Padahal, Presiden Soekarno dalam pidatonya 1 Juni 1945 didepan Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonensia (BPUPKI) mengingatkan bahwa ”Saudara-saudara, badan permusyawaratan yang akan kita buat hendaknya bukan badan permusyawaratan politieke democratie saja, tetapi badan yang bersama dengan masyarakat dapat mewujudkan dua prinsip yakni keadilan politik dan keadilan sosial…Di dalam badan permusyawaratan, saya ulangi lagi, segala hal akan kita selesaikan, segala hal…”
Menitipkan Kebahagiaan
Dipenghujung tulisan, penulis teringat dengan kata-kata anekdot bahwa, hanya Seekor keledailah yang mungkin terjatuh dilubang sama. Tentunya, penulis mengingatkan dan mengajak kepada warga negara Indonesia yang memiliki dan menggunakan akal normalnya untuk selalu mengingat JASMERAH (jangan sekali-kali melupakan sejarah) dalam setiap menjalani dan menentukan kehidupan kebangsaan dan kenegaraan.
Sehingga, pemikiran dan akal normallah yang akan mampu menentukan dalam setiap pilihan antara yang haq dan bathil, terlebih dalam menentukan seorang pemimpin kenegaraan dan kebangsaan yang akan membawa kehidupan khalayak untuk lebih baik dalam menciptakan kesejahteraan dan kebahagian rakyat dari sebatas hanya serpihan dan kepingan-kepingan impian dan cita-cita yang kelak akan terwujud oleh mereka-mereka para pemimpin yang akan menjaga amanah rakyat dan memperjuangkan kebahagian yang telah dititipkan.
Diwaktu yang sama Presiden Soekarno dalam pidatonya 1 Juni 1945 di BPUPKI mempertegas bahwa, “Jangan saudara kira, bahwa kalau Badan Perwakilan Rakyat sudah ada, kita dengan sendirinya sudah mencapai kesejahteraan”.
Sedangkan Adolf Hitler seorang pemimpin Nazi Jerman mengatakan bahwa, jika kesalahan sering dikatakan dan diulang-ulang, maka kesalahan dan ketololan yang terjadi kelak akan menjadi kebenaran. Maka, segala penyimpangan dan kemunduran yang berubi-tubi mendera negara bangsa Indonesia, sudah menjadi tugas semua elemen bangsa-lah (yang berakal normal) yang kelak akan merubah kemunduran menjadi kejayaan. Bagaimanapun, didunia ini tidak ada yang abadi, tetapi perubahan itulah yang abadi. Semoga !
IIN SOLIHIN
(PENULIS ADALAH PENELITI PADA LINGKAR STUDI ISLAM DAN KEBUDAYAAN (LSIK) - CIPUTAT DAN AKTIVIS FORUM DISKUSI RUMAH ANAK BANGSA PARE)
Musim Dingin
Pare-Kediri Senin 10 Oktober 2011
Room 05 Story 3
IIN SOLIHIN
(PENULIS ADALAH PENELITI PADA LINGKAR STUDI ISLAM DAN KEBUDAYAAN (LSIK) - CIPUTAT DAN AKTIVIS FORUM DISKUSI RUMAH ANAK BANGSA PARE)
Musim Dingin
Pare-Kediri Senin 10 Oktober 2011
Room 05 Story 3
1 komentar:
bagus sekali tulisannya mas, berasa bgt 'geregetannya'..
Umm, tapi kug g banyak ya bahasan ttg paradoks kemiskinan dan keberlimpahan seperti yang ada di judul? Sepengetahuan sya memang ada istilah 'resources curse' atau kutukan sumber daya alam. Artinya, wilayah yang cenderung kaya SDA justru masyarakatnya cenderung tidak sejahtera. Salah satu penyebabnya tentu saja penyelewengan kekuasaan seperti yg sudah dijelaskan dgn sgt menggugah dalam tulisan ini. Sayangnya, benang merah antara keberlimpahan kekayaan Indonesia, kemelaratan masyarakat kita, dan penyelewengan penguasa kita kurang jelas...
but overall, it's awakening...
Posting Komentar